Pendidikan menjadi pilar penting
untuk memajukan suatu bangsa. Melalui pendidikan yang berkualitas terbentuk
sumberdaya manusia yang berkualitas pula. Pentingnya pendidikan bagi peningkatan
kualitas sumberdaya manusia menjadikan Indonesia selalu melakukan inovasi dibidang
pendidikan.
Penambahan alokasi dana, peningkatan
fasilitas dan pembaruan kurikulum adalah beberapa upaya yang dilakukan
pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Salah satu program yang
dilakukan pemerintah dibidang pendidikan adalah pemberian Bantuan Oprasional
Sekolah (BOS). Diberlakukannya BOS sejak Juli 2005 silam dirasakan cukup banyak
manfaatnya bagi masyarakat. Program ini juga mampu menekan pungutan yang
dilakukan sekolah terhadap siswa.
Adanya program BOS membantu pemerintah
mewujudkan program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Tujuan utama program ini
adalah mengurangi angka putus sekolah. Program ini disambut baik oleh
masyarakat, meski diawal berjalannya program ini sempat dikhawatirkan akan ada
penyimpangan dana. Namun pengawasan yang cukup baik membuat program ini masih
terus berjalan hingga sekarang.
Memasuki pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah mengeluarkan Kartu Indonesia
Pintar (KIP) sebagai bantuan yang diberikan kepada siswa yang kurang mampu.
Perbedaan antara BOS dan KIP terletak pada pemberian bantuannya. KIP diberikan
langsung ke siswa sedangkan BOS diberikan kepada institusi. Selain KIP, Kabinet Kerja Jokowi-JK juga memiliki Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) yang dianggap berpengalaman di bidangnya. Anies Baswedan, penggagas
gerakan Indonesia Mengajar (IM) sekaligus mantan rektor Universitas Paramadina itu
dianggap memiliki kemampuan yang mumpuni di bidang pendidikan. Kehadiran Anies diharapkan
mampu mensuksekan pendidikan Indonesia seperti suksenya program IM. Namun dalam
kenyataannya, Anies sendiri tak mau menerapkan sistem IM dalam pemerintahannya.
Seperti yang ia ungkapkan pada Tempo.co, IM adalah program masyarakat,
sementara untuk pemerintahan tentu akan berbeda penerapannya.
Terlepas dari penerapan sistem IM
dalam pemerintahan, ada hal yang jauh lebih penting untuk dicermati dalam pendidikan di Indonesia. Kurikulum 2013
(K13) yang merupakan gagasan dari mentri pendidikan sebelumnya, yaitu Muhammad
Nuh menuai kontroversi dalam penetapannya. Berdasarkan data dari Kemendikbud
yang telah diolah oleh Tempo, Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 7
kali. Setiap kurikulum yang diterapkan memiliki kriteria tersendiri.
Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pengajaran lebih ditekankan pada pencapaian
kompetensi. Sedangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tujuan utamanya
adalah agar peserta didik berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, serta
kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Sementara kurikulum terbaru K13 penekanan
diutamakan pada penilaian afektif dan moral.
K13 dalam penerapannya mengalami
berbagai kendala. Meski beberapa pihak menganggap baik dan menerima penerapan
kurikulum ini, tak sedikit pula yang kontra dengan diterapkannya kurikulum ini.
Nur’aini guru SMP N 2 Marga Tiga mengatakan sebenarnya K13 bagus karena
menuntut guru dan siswa menjadi aktif dan berbudi pekerti baik. Namun,
kurikulum ini terkesan belum siap dan terlalu terburu-buru. Sekolah tempatnya
mengajar sudah menerapkan K13 selama satu semester, tapi kemudian kembali lagi
menggunakan KTSP. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan K13 terletak pada
fasilitas dan sistem penilaian yag dirasa cukup rumit. Berdasarkan pengakuannya
dalam pemberian nilai, banyak guru senior di sekolahnya yang tidak memahami IT
sehingga kesulitan saat akan input nilai. Jumlah komputer disekolahnya juga
tidak memadai untuk menunjang penerapan K13.
Namun, untuk buku dan penerapan
pengajaran ia mengaku tidak terlalu terkendala. Bahkan ia menyayangkan
pencabutan K13, karena dengan kembalinya kurikulum ke KTSP banyak mata
pelajaran yang sudah diajarkan kepada siswa saat memakai K13 diulang kembali
dikelas selanjutnya saat memakai KTSP. Ia mengatakan pergantian kurikulum
tidaklah mnyelesaikan masalah. Sebenarnya K13 hanya perlu revisi dalam aspek
aplikasi penilaian saja, selebihnya ia setuju dengan diterapkannya K13. Seiring
berjalannya waktu ia optimis K13 mampu dibenahi jika tetap diterapkan.
Masalah penggunaan aplikasi
penilaian dalam penerapan K13 sebenarnya telah diantisipasi pemerintah dengan
mengadakan pelatihan K13 bagi guru. Namun, kendala dalam penerapan K13 ternyata
tidaklah sama antara satu sekolah dan sekolah lainnya. Meski di SMP N2 Marga
Tiga tidak mengalami kendala pengadaan buku, tapi banyak sekolah yang
terkendala maslah buku. Hal ini terbukti adanya oknum mafia buku yang
memanfaatkan ketiadaan buku untuk merauk keuntungan pribadi. Kehadiran mafia
buku ini merugikan berbagai pihak, baik wali murid maupun pihak sekolah. Oleh
karena itu banyak sekolah yang merasa tidak mampu menerapkan K13 dan memilih
menggunakan KTSP.
Diawal percoban penerapan K13, Mendikbud
yang kala itu masih dijabat M.Nuh sangat optimis dan bangga dengan K13. Namun
beralihnya kepemimpinan, dan dilantiknya Medikbud Anies baswedan menimbulkan
kebijakan-kebijkan baru. Adanya pro kontra terhadap penerapan K13 ini membuat Anies
memutuskan menncabut K13 pada 5 desember 2014.
Pencabutan K13 ini nampaknya tak
menyelesaikan masalah, justru masalah baru terus bermunculan. Perbedaan antara K13
dan KTSP menjadikan para pengajar dan siswa harus beradaptasi lagi. Beberapa
pelajaran yang telah diajarkan terlebih dahulu sesuai dengan K13 harus diulang
dikelas selanjutnya ketika menggunakan KTSP. Masalah pengadaan buku dan
pelatihan K13 menjadi sia-sia saat K13 tak lagi diterapkan. Pengadaan buku dan
pelatihan tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit, bila pada akhirnya K13 tak
jadi diterapkan, hal ini menjadi sia-sia. Seharusnya dana tersebut dapat alokasikan
untuk sektor lainnya.
Sebenarnya pencabutan ini tidak
berlaku sepenuhnya, Anies mengatakan bagi sekolah yang masih melakukan
percobaan selama satu semester dapat kembali lagi ke KTSP, namun bagi sekolah
yang merasa mampu menerapkannya diperbolehkan tetap menerapkan K13. Seringnya
pergantian kurikulum di Indonesia menjadikan pendidikan di Indonesia seperti
ajang uji coba. Perbedaan kebijakan setiap pergantian mentri terus
dilaksanaakan namun belum memiliki hasil yang signifikan. Justru yang ada malah
kesan pemaksaan sistem pendidikan baru yang terkadang malah menyulitkan
pengajar dan siswa. Mereka harus beradaptasi dengan sistem yang terus berganti.
Seharusnya gagalnya penerapan K13 secara
merata ke Indonesia menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Pemerintah
harus lebih mempersiapkan dan mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi dari
semua aspek sebelum menerapkan sitem kurikulum baru, baik dari keutamaan
penilaian dan hasil yang diperoleh maupun dari fasilitas penunjang penerapan
kurikulum. Bagi para pengajar dan masyarakat, dapat bersikap lebih lapang lagi
melihat dari segi positif dan bila pada kenyataanya kurikulum yang akan
diterapkan tidak mampu untuk diaplikasikan, dapat memberi masukan untuk
perbaikan kurikulum di Indonesia kedepan. Dengan begitu uji coba sistem
pendidikan akan berkurang, pemborosan dana untuk pelatihan dan pengadaan buku
untuk kurikulum yang tak jadi diimplementasikan juga dapat dicegah.